Jl. Sivitas Akademika Kampus USU Medan - mag-im@usu.ac.id
previous arrow
next arrow
Shadow
Slider

Tokoh

figure usman kansong noi

Perlu Pemetaan Alumni Dukung Internasionalisasi Kampus

Beberapa bulan dipimpin Muryanto Amin sudah beberapa prestasi berhasil diraih USU. Baru-baru ini misalnya, USU berhasil masuk dalam 10 besar perguruan tinggi peraih medali terbanyak dalam ajang Kompetisi Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (KNMIPA) 2021 yang digelar Pusat Prestasi Nasional Kemendikbudristek.

Pencapaian ini diyakini Usman bisa terus diraih dengan prestasi-prestasi lainnya hingga lima tahun ke depan, khususnya dalam mengantarkan USU ke tahap internasional. Untuk menuju level ini, banyak yang harus dibenahi USU. Dari kacamata alumni, ia melihat ada tiga hal yang harus diperbaiki USU.

Pertama, kurikulum. Menurut kandidat doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini bahwa kampus merupakan tempat mendidik orang. Jadi kurikulum perlu dimodifikasi dan direformasi. Sesuai konteks, saat ini Kemendikbudristek sedang mengusung Merdeka Belajar. Sudah seharusnya semua disesuaikan dengan kurikulum tersebut.

"Sudah seharusnya menurut saya di kampus semua agama harus dipelajari. Yang Islam mempelajari agama yang Hindu, Kristen dan lainnya. Jadi yang Islam tidak hanya mempelajari agama Islam saja," sebutnya.

Yang lainnya misalnya mendatangkan ahli ke kampus maupun melakukan proses magang di perusahaan dalam waktu yang cukup lama. Pada hal ini, alumni USU bisa dilibatkan. "Saya sendiri juga bisa diundang dalam kuliah umum tentang jurnalisme misalnya," ujar Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional Jokowi-KH Ma’ruf Amin tersebut.

Pada proses pemagangan di perusaahan, peran alumni juga cukup besar. Hal ini untuk mempermudah mahasiswa USU dalam menggali ilmu lebih dalam selain dari kampus.

Selanjutnya yang kedua, kata Usman, yang perlu dibenahi adalah kualitas dosen. Dosen-dosen USU harus terus belajar dan berbenah. Jangan pernah puas dengan ilmu yang standar saja. Misalnya pada dosen Ilmu Komunikasi. Saat ini sedang ramai Multimedia Journalism. Kemampuan dosennya harus bisa menjangkau hal tersebut.

"Dan yang ketiga adalah sistem pendidikan. Untuk menuju internasionalisasi kampus ini ketiganya harus diperbaiki," ujar Ketua Dewan Redaksi Media Group tersebut.

Pada dasarnya kata Usman, alumni juga siap mendukung USU dengan berbagai cara menuju tahap internasional tersebut. Hanya saja perlu pemetaan dan target dalam bidang apa pencapaian tersebut.

"Kalau pencapaian internasionalnya hanya dalam kegiatan saja. Saya rasa gampang hal itu diwujudkan. Tinggal didata, alumni kita yang bekerja di luar negeri. Saya rasa mereka bisa membantu," ucapnya.

Atau misal lainnya dalam hal kerja sama internasional. USU melakukan kerja sama dengan universitas-universitas dari negara lain. Alumni juga bisa membantu jika pemetaan dan pendataan alumni ini telah dilakukan.

"Kalau untuk prestasi. Misal untuk bidang olahraga ataupun lainnya. Perlu dibuat target konkret agar USU bisa berprestasi menguasai ASEAN bahkan internasional nantinya. Kalau universitas, sudah pasti targetnya adalah pemeringkatan. Sebelum ke tahap internasional sudah pasti USU harus kuasai dulu nasionalnya," sebut Usman.

Pandemi ini juga, kata Usman, tidak menjadi penghalang bagi USU untuk mengejar prestasi-prestasi tersebut. Ia yakin, dalam lima tahun ini Muryanto Amin bisa melakukan itu sesuai tagline yang diusungnya yakni Transformation Towards Ultimate. (BR)

figure schneider team usu gfl
Dari limbah cangkang kemiri, sekumpulan mahasiswa membawa harum nama Universitas Sumatera Utara (USU) di Sillicon Valley, Amerika Serikat dalam ajang Sillicon Valley International Invention Festival (SVIIF). Penelitian mereka terkait pembuatan kanvas rem dengan limbah organik (cangkang kemiri) berhasil meraih medali emas pada 2018 lalu. Dan kini, penelitian itu terus berlanjut untuk tahap komersialisasi.

Sillicon Valley International Invention Festival sendiri merupakan ajang untuk mempublikasikan penemuan-penemuan dari seluruh dunia. Ajang itu diikui 85 negara dan 217 tim dari berbagai belahan dunia, di mana para peserta dituntut untuk memamerkan sejumlah produk penemuan atau inovasi yang mereka kembangkan dengan disaksikan oleh para pengusaha maupun perwakilan industri ternama dunia.

Ide awal terbentuknya Schneider Team USU adalah karena keinginan dari sekelompok mahasiswa dengan beragam jurusan yang memiliki minat di bidang penelitian untuk bersama-sama mengaplikasikan temuan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

“Kita ingin penelitian kita bukan hanya sebuah pencapaian untuk diri sendiri, tapi bagaimana juga bisa berdampak untuk masyarakat. Agar penelitian itu berlanjut, kita harus berkolaborasi,” ujar President Schneider Team USU Winelda Mahfud Zaidan Haris saat diwawancarai, Kamis (25/5/2021).

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi ini jugalah yang menjadi salah satu pengembang limbah organik untuk dijadikan kanvas rem untuk sepeda motor. Mulanya mereka melihat artikel di portal berita vice.com tentang penggunaan asbestos. Dalam artikel itu, asbestos disebutkan sangat berbahaya untuk lingkungan dan kesehatan manusia.

“Asbestos itu bahan utama pembuatan kanvas rem dan atap asbes. Debu asbestos akibat dampak pemakaian untuk kanvas rem bisa memicu asbestosis, penyakit pernapasan akibat infeksi paru. Kita tahu bersama bahwa penggunaan kanvas rem di Indonesia sangat tinggi seiring dengan meningkatnya kendaraan bermotor,” ujarnya.

Dari sana kita tergerak untuk mencoba melakukan penelitian cangkang kemiri untuk menggantikan bahan asbestos di pembuatan kanvas rem. Kenapa cangkang kemiri? Karena limbah itu adalah bahan yang tahan terhadap panas dan gesekan. Dengan demikian, kanvas rem yang dihasilkan tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga lebih awet.

Schneider Team USU yakin produk ini mampu membawa dampak kebermanfaatan yang luas di tengah masyarakat. Kanvas rem berbahan limbah organik ini juga diklaim lebih murah. Kanvas rem sepeda motor untuk varian matic saja diberandol mulai Rp20.000 – Rp35.000. “Sementara kanvas rem limbah organik kami, Rp19.000 – Rp25.000,” ujarnya.

Usai mendapat apresiasi di ajang SVIIF dengan torehan medali emas, Schneider Team USU terus mengembangkan kanvas rem yang kini diberi nama “palastik” itu. Bahan organik yang digunakan pun tak lagi terbatas pada bahan kemiri, tapi limbah plastik! Winelda menargetkan pertengahan tahun 2021 bisa meluncur ke pasaran. “Tapi persoalannya kita harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan proses birokrasi yang panjang terkait perizinan produk ini,” ujarnya.

Tak mau menunggu, Schneider Team USU telah mengembangkan start-up palastik. Winelda mengatakan, “palastik” sudah diuji coba di kendaraan sepeda motor anggota Schneider Team USU dan hasilnya sangat layak untuk digunakan di kendaraan roda dua. “Untuk pengembangan start-up ini kami juga berhasil mendapatkan dana hibah dari Kemenristekdikti sebesar Rp250 juta,” ujarnya.

Sambil menunggu proses komersialisasi produk “palastik”, Schneider Team USU terus bergerak untuk merekrut anggota-anggota baru. Mereka mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa USU lintas jurusan untuk mengembangkan ide penelitian. Agar kampus tak lagi menjadi menara gading, mereka melahirkan inovasi berkelanjutan untuk kebaikan manusia.

figure dr edy ikhsan sh ma cjl

Bagi para aktivis penggiat hak azasi manusia serta di lingkar akademisi, nama Edy Ikhsan tidaklah asing. Ia juga bukan orang baru bagi kalangan media. Seabrek aktivitas hukum dan sosial kerap mengikutsertakannya sebagai tokoh utama dalam berbagai aksi perlindungan kalangan marginal, anak dan perempuan. Untuk bidang akademis, penelitian yang dilakukannya seputar persoalan adat dan hak ulayat masyarakat Melayu Deli, telah mendudukkannya sebagai salah seorang tokoh bangsawan Melayu yang menjadi sumber informasi terpercaya oleh berbagai kalangan.

Dr Edy Ikhsan, dilahirkan di Medan 58 tahun silam, tepatnya pada 16 Februari 1963. Ia mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar Josua Medan (1969–1974), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Josua Medan (1975–1977) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri III Medan (1978–1981). Ia lulus dan diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Jurusan Keperdataan USU pada tahun 1981 dan menamatkannya tepat waktu di tahun 1986. Lelaki murah senyum yang hobby bergurau itu mendapatkan gelar magister antropologinya dari Program Pasca Sarjana bidang Antropologi Hukum di Rijksuniversitet te Leiden/ Landbouw Universiteit Wageningen di Nederland dan Universitas Indonesia di Jakarta (1991-1995) dan mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Sumatera Utara (2013).

Ketua Badan Pembina Yayasan Pusaka Indonesia ini adalah seorang dosen yang tidak pernah puas menimba ilmu. Ia pernah mendapatkan beasiswa bergengsi karena kegigihannya. Di antaranya beasiswa untuk program S2 di negeri Belanda dari Pemerintah Belanda (1990), penerima Grant Penelitian dari the Toyota Foundation (1994), Penerima International Visitor Program, USA (2005), penerima Grant Sandwich-Like Program di Universitas Leiden, Belanda dan penerima Grant Studi Gerakan Ornop di Cafe Town Afrika Selatan (2000). Beberapa penghargaan pun pernah diterimanya sebagai imbal dedikasi yang telah diberikannya dalam profesi. Tercatat di antaranya sebagai penerima Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia Satyalancana Karya Satya 10 Tahun (2007), 20 Tahun (2011) dan 30 Tahun (2019) serta Dosen Terbaik Fakultas Hukum USU (2008 dan 2013).

“Pendidikan bukan satu-satunya hal terpenting dalam hidup. Namun dengan pendidikan, manusia akan mampu memanusiakan sesamanya, berpikir dan bertindak sesuai dengan fitrahnya ketika diciptakan; menjadi kebaikan bagi seluruh alam. Itulah point penting pendidikan itu. Jika pendidikan tidak mampu mengubah manusia menjadi sebaik-baik penciptaan, berarti ada yang salah dengan dirinya atau pendidikan yang dijalaninya. Namun yang paling penting untuk diingat, pendidikan yang dimaksudkan bukan hanya segala sesuatu yang bersifat formal, melainkan hal-hal lainnya yang kita pelajari di sekitar kita. Belajar itu proses yang terus berlangsung sepanjang hayat. Belajar apa saja, dari siapa saja, di mana saja dan kapan saja” ungkap lelaki yang selalu tampil bersahaja itu.

Sebagai seorang aktivis, kiprah Dr Edy Ikhsan di berbagai organisasi sudah dilakoninya sejak lama. Pengalamannya di Himpunan Mahasiswa Islam (1983-1986), Lembaga Advokasi Anak Indonesia (1992-1998), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara (WALHI) (2005), Kontras Sumatera Utara (2003 s/d sekarang), Yayasan Pusaka Indonesia (2000 s/d sekarang) dan Perpustakaan Yayasan Tengku Luckman Sinar (2014 – sekarang) memberikan banyak warna dalam pemikiran-pemikiran yang dituangkannya dalam berbagai penelitian dan karya ilmiah, baik berupa jurnal, artikel media, buku dan lain-lain. Ia terbilang kritis dalam mengungkapkan berbagai koreksi terhadap kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak berpihak terhadap perlindungan kalangan marginal.

Dr Edy Ikhsan adalah pembaca yang lahap dan pembelajar yang tekun. “Saat ini membaca tidak lagi identik dengan buku. Sumber bacaan di era teknologi sangat beragam. Ada e-book dan berbagai search engine yang akan mengantarkan kita ke berbagai sumber bacaan. Filternya ada di diri kita, apakah ingin mencari informasi positif atau negatif. Fungsinya juga kembali pada diri sendiri, apakah akan membuat kita menjadi lebih baik atau malah lebih buruk,” tandasnya.

Ia juga kerap melakukan penelitian terhadap banyak persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Menyebut beberapa penelitian yang dilakukannya, di antaranya; Riset Kinerja Ombudsman RI (2014) sebagai Peneliti Utama dari Rijksuniversiteit Leiden, Riset Sejarah Hukum Tanah Orang Melayu (2015) sebagai Peneliti Utama dari National Archive Belanda, Riset Masyarakat Hukum Adat Langkat (2016) sebagai Peneliti Utama dari Pemerintahan Langkat dan Lembaga Penelitian USU, Konflik di Atas Tanah Eks HGU PTPN II (2017) sebagai Peneliti Utama dari Universitas Sumatera Utara, Perlindungan Pengungsi Anak Rohingya di Medan (2018) sebagai Peneliti Utama dari Universitas Sumatera Utara, Legalitas dan Hak Milik Sibayak Kabanjahe (Studi Sejarah) (2018) sebagai Peneliti Utama dari Negeri Belanda, Putusnya Pertunangan di Masyarakat Batak Mandailing (2019) sebagai Peneliti Utama dari Dikti dan Pasang Surut Kesultanan Kota Pinang (1881-1946) (2019) sebagai Peneliti Utama dari Negeri Belanda.

Dr Edy Ikhsan juga mempublikasikan berbagai karya ilmiahnya dalam bentuk buku, jurnal dan artikel di media massa. Beberapa di antaranya ; Tanah Ulayat Orang Melayu di Sumatera Utara: Diantara Pengakuan dan Pemasungan (2010) Seminar Internasional Pemikiran Tengku Luckman Sinar (Makalah), Nasionalisasi Perkebunan Belanda di Sumatera Utara (2012) Kumpulan Tulisan Emeritus Prof. Rehngena Purba, SH, MS (Buku), Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum (2015) Yayasan Obor Indonesia (Buku), Communal Land Rights of Malay People in North Sumatra Utara: Power, State and Deulayatisasi (2014) Indonesian Law Review, University of Indonesia (Journal), Land Tenure of The Malay People in North Sumatra: From Normative Trap to Historical Denial (2016) Hasanuddin Law Review, University of Hasanuddin (Journal), The Nationalization of the Dutch Owned Plantations in North Sumatra: To Whom The Communal Land Belong? (2019) Indonesian Law Review, University of Indonesia (Journal).

Sebagai Wakil Rektor I USU, Dr Edy Ikhsan melihat bahwa pendidikan tinggi dengan penerapan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka saat ini telah membuka peluang besar bagi para mahasiswa untuk melengkapi kompetensinya dengan kolaborasi soft skill dan hard skill yang lebih baik.

“Kultur belajar di kampus dalam bingkai MBKM saat ini tidak lagi hanya menempatkan mahasiswa di ruang-ruang kelas secara pasif, namun memberikan ruang yang lebih luas untuk berinovasi dan berkreasi sesuai dengan passion mahasiswa. Kebebasan untuk mengambil hak belajar 3 semester di luar prodi asal, yakni 1 semester kesempatan mengambil mata kuliah di luar program studi dan 2 semester melaksanakan aktivitas pembelajaran di luar perguruan tinggi, memberikan iklim yang lebih mendukung terwujudnya generasi unggul dengan berbagai kecakapan/keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja. Semoga hal ini bisa dimanfaatkan dengan baik oleh para mahasiswa kita,” harapnya.

Selain sebagai Wakil Rektor I USU, Dr Edy Ikhsan juga masih menjalankan profesi sebagai Dosen Fakultas Hukum USU, Ketua Badan Pembina KontraS Sumatera Utara dan Kepala Perpustakaan Yayasan Tengku Luckman Sinar. (RJ)